Selasa, 05 Februari 2008

Sebuah Hikmah

Sebuah Batas Kesabaran
Oleh TirTo

Jam 7.30 pagi aku sudah tiba di kantor. Seperti biasa dengan langkah tergesa-gesa aku berjalan dari loker area menuju ruang kantorku, selama dalam perjalanan sambil memakai sepatu tanpa kaos kaki, aku pakai kacamataku hingga tibalah aku di ruang kantorku yang masih sunyi, hanya ada 2 orang di ujung ruangan yang telah tiba dahulu di kantorku. Begitu sampai di meja kerjaku, langsung aku hidupkan komputerku sambil kuletakkan jaket dan tasku, lalu aku pakai kaos kakiku. Selesai aku pakai sepatu secara sempurna dan kemudian hiduplah komputerku.
Seperti biasa setelah komputerku hidup, pertama kali yang aku lakukan adalah membuka email-email dari para sahabat, dan jika tak ada email dari mereka maka aku sempatkan kirim email untuk mereka sekedar mengucapkan salam dan selamat pagi.
Lalu datanglah seorang wanita, dia adalah rekan kerjaku, berjalan melewatiku dari belakang lalu duduk disampingku. Lalu kemudian pergi lagi.
Jam sudah menunjukkan jam 8 pagi, tibalah waktunya untuk rapat pagi. Kami semua berdiri untuk mengikuti rapat pagi ini. Seperti biasa salah satu dari kami maju kedepan untuk membacakan ikrar karyawan. Setelah rapat singkat selesai, lalu datanglah rekan kerjaku dan duduk disampingku. Sambil meletakkan botol minuman di mejanya, dia menghidupkan komputernya.
Hari itu ada jadwal rapat yang harus aku lakukan, jadi semenjak pagi sampai siang hari, aku sibuk menyiapkan materi rapat. Sampai akhirnya tiba waktu jam makan siang, rekan kerjaku akhirnya beranjak dari tempat duduknya dan melewatiku dari belakang sambil membawa botol minuman, dari pantulan layar komputerku, aku melihat bahwa dia melihatku dari belakang. Setengah jam kemudian, aku pergi makan siang. Setelah selesai makan dan istirahat sejenak, lalu aku kembali ke ruang kantorku. Suasana kantor masih gelap, karena jam masih menunjukkan jam 13.10, adalah jam istirahat siang sekaligus jam penghematan energi di kantorku. Aku kembali ke komputerku, aku buka email-email dari sahabat-sahabatku. Sambil mendengarkan lagu MP3 dari handphone-ku, aku buka dan berkirim email dengan sahabat-sahabatku. Sampai akhirnya selesailah jam istirahat, waktu menunjukkan jam 13.30.
Rekan kerjaku datang dengan membawa botol minuman melewatiku dari belakang kemudian duduk disampingku sambil kemudian menyalakan layar komputernya.

Aku sapa dia,”Sudah makan ?”
“Sudah”, jawabnya singkat.

Lalu 20 menit kemudian aku beranjak dari meja kerjaku karena 10 menit kedepan aku harus rapat. Dengan membawa laptop, aku berangkat ke sebuah ruangan rapat. Disana masih sunyi, kemudian 10 menit kemudian baru berdatanganlah peserta rapat yang lainnya. Rapat kali ini berjalan relatif lancar karena lengkapnya anggota rapat yang hadir sekaligus hasil diskusi yang langsung mengena ke topik permasalahan yang dibahas dalam rapat. Setelah 2 jam rapat berlangsung, kemudian aku kembali ke ruang kantorku. Disana rekan kerjaku masih duduk serius didepan komputernya sambil tangan kirinya menyangga dagunya.
Kemudian aku sapa dia, “Gimana install windows XP-nya, berhasil?”.
Berselang satu detik pertanyaanku, dia langsung menjawab dengan nada tinggi seolah meledak-ledak dia menjawab, “Gara-gara kamu, data-dataku di komputer jadi hilang ! Kenapa sih pelit amat kasih ilmunya?!Diundang suruh datang bantu aja gak mau!” Sambil melotot dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajahku, dia menjawab pertanyaanku dengan nada kesal dan marah padaku.
Kala itu belum sempat aku bereaksi dengan jawabannya, tiba-tiba datang seseorang dari belakangku, memanggilku, “Mustafa, ayo shalat dulu !”
Lalu aku jawab, “Ayo…” Sambil membalikkan badan dan meninggalkan rekan kerjaku yang sedang marah dengan matanya yang melotot, akhirnya aku pergi untuk shalat.
Selesai shalat langsung aku kembali ke ruangan kantorku, waktu itu 15 menit sebelum waktunya jam pulang kerja. Kala itu, kursi disamping meja kerjaku masih kosong, rekan kerjaku yang barusan marah sedang tak ada di tempat. Sampai akhirnya tiba jam pulang, tiba-tiba datang rekan kerjaku dari belakang langsung mematikan komputernya dan dengan membawa tas dia pergi pulang lewat belakangku. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk pulang. Setelah mematikan komputerku, lalu aku pakai jaket dan tasku dan beranjak pulang. Selama dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya aku berpikir, kenapa dia bisa marah denganku ?
Kemarin, rekan kerjaku meminjam CD installer dariku untuk install window XP komputer di rumahnya. Lalu tadi malam, aku mendapatkan pesan singkat (sms) dari dia yang berisi, “Pak, ini cara installnya gimana?” Aku jawab, “Masukkan CD-nya lalu ikuti langkah-langkahnya sesuai dengan petunjuk yang diberikan CD”. Lalu dia balas pesanku, “Bapak kesini aja ya, tolong installkan ya…!”
Karena hari telah malam dan besok masih harus masuk kerja, akhirnya aku menolak permintaannya. Sampai akhirnya jam 01.00 dini hari, di kala aku sedang nyenyak tidur, aku dibangunkan oleh bunyi handphone-ku, ada sms yang datang. Dengan berat kubuka mataku untuk melihat isi sms tersebut, sms datang dari rekan kerjaku berisi pesan yang sangat singkat namun ketus, “DASAR PELIT !”.
Singkat namun, membuatku tak selera lagi untuk melanjutkan tidur nyenyakku. Banyak pertanyaan yang ada di benakku, namun aku urungkan untuk membalas pesan singkatnya, karena percuma saja memberikan jawaban pembelaan di saat yang menurutku kurang tepat. Akhirnya terdengar bunyi alarm tanda jam 5 pagi, aku terbangun.
Yah, mungkin karena aku pelit maka dia berhak marah pada diriku. Mungkin karena aku tidak menuruti keinginannya sehingga aku dibilang pelit olehnya, atau karena musibah yang dialami komputernya saat install window XP mengakibatkan data-datanya hilang, sementara diriku tak ada disampingnya untuk mencegah musibah itu ? atau karena dia tak puas dengan alasanku untuk tidak sempat datang ke rumahnya malam itu ?
Semua pikiran itu melintas di benakku, sambil aku melaju kencang dengan sepeda motorku menuju rumah.

Nilai moral yang dapat diambil dari cerita ini adalah, betapa batas kesabaran seseorang memiliki tingkatan tertentu tergantung darimana kita melihat sebuah pokok permasalahan. Sebuah egoisme dapat memicu amarah sekaligus menempatkan tingkat kesabaran kita pada tingkatan yang paling rendah. Sementara sebuah toleransi dapat meredam suatu amarah agar tidak menjadi sebuah emosi diri.

Tidak ada komentar: